TANGERANG – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Tangerang, mendesak pemerintah untuk segera membongkar pagar laut misterius yang terbuat dari bambu dan membentang sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang. Permintaan ini muncul menanggapi penyegelan pagar laut yang dilakukan oleh KKP.
“Pagar itu harusnya dibongkar bukan disegel, ini sidah jelas ilegal,” kata Ketua DPC GMNI Kabupaten Tangerang, Endang Kurnia, Jumat (10/1/2025).
Endang mengungkapkan, lokasi pagar laut misterius itu berada dalam Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2023.
Oleh karena itu, tegas Endang, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membongkar pagar tersebut. Ia juga menilai adanya pemagaran ini menandakan lemahnya kedaulatan Maritim.
“Pemagaran laut merupakan indikasi adanya upaya dari pihak tertentu untuk mendapatkan hak atas tanah di laut secara tidak benar, yang akan menjadikan pemegang hak berkuasa penuh dalam memanfaatkan, menutup akses publik, privatisasi, merusak keanekaragaman hayati, dan perubahan fungsi ruang laut, ” tuturnya.
Lanjut Endang, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 7, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan karena dapat merugikan kepentingan umum.
“Jika pemagaran laut ini terbukti melanggar ketentuan tersebut, maka tindakan hukum harus segera dilakukan. Tapi Ketika penegak hukum terindikasi berpihak kepada oligarki, maka kami akan menciptakan tekanan signifikan terhadap rezim untuk menindak dugaan pelanggaran tersebut. Kesadaran kolektif dan gerakan solidaritas rakyat menjadi kunci untuk melawan ketidakadilan dan keberpihakan terhadap oligarki,” pungkasnya.
Sekretaris DPC GMNI Kabupaten Tangerang Teguh Maulana menambahkan, sangat tidak logis jika pemerintah mengaku tidak mengetahui siapa yang membangun pagar ilegal sepanjang 30,16 kilometer tersebut, mengingat pemagaran yang melintasi 6 Kecamatan itu bukan pekerjaan instan.
Menurut Teguh, Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah seharusnya bisa melakukan tindakan yang lebih tegas. Jika memang pemagaran itu tidak diketahui maka dapat dipastikan bahwa itu tidak memiliki izin.
“Seharusnya pagar itu dibongkar, sebab berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2014 kegiatan tersebut merupakan tindakan melawan hukum. Tidak main-main, ini bisa masuk ke dalam unsur pidana,” ujarnya.
Teguh menilai, pemerintah seolah tutup mata dan cuci tangan atas ironi yang terjadi dan tidak memiliki ketegasan untuk menindak pemagaran ilegal itu.
“Peristiwa ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari banyaknya polemik pembangunan PIK 2,” tandasnya.