Oleh : Rizki Rochman
Mental dunia pendidikan kita lembek. Alih-alih semakin banyak masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi dan semakin masif jumlah perguruan tinggi, terutama di Pulau Jawa, justru tidak mendongkrak level kemajuan negara kita. Hal ini utamanya dilihat dari beberapa indikator seperti Human Index dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Malah baru-baru ini beredar di media sosial bahwa Indonesia adalah peringkat nomor dua dalam hal ketidakjujuran akademik diantara negara-negara di dunia. Wah…
Mental lembek ini terlihat dari minimnya ketidakjujuran akademik tersebut. Sampai hari ini kita masih mendengar informasi mengenai pemberian gelar akademik seperti Guru Besar yang tidak transparan dan terkesan amburadul. Rasanya lebih mudah dan instan memberikan gelar akademik kepada tokoh politik ketimbang civitas akademik yang lebih layak dan capable untuk menerima gelar tersebut.
Selain itu, masalah di pendidikan tinggi kita juga teramat banyak sekaligus memilukan, atau mungkin memalukan. Contohnya seperti maraknya jurnal predator, jasa perjokian, plagiarisme dan pencatutan karya ilmiah, penggunaan artificial intelligent yang kebablasan, bullying dan kekerasan seksual, rasio jumlah dosen terhadap mahasiswa, mahalnya biaya pendidikan, dan lain seterusnya.
Rasanya budaya keilmuan kita tidak memiliki ruh atau makna. Seolah-olah terlihat bonafide di luar namun busuk di dalam. Pola yang digunakan hanyalah mengulang pola-pola masa lalu yang sudah usang, memunculkan lagi istilah menara gading dan proyek mercusuar. Bungkus lebih utama daripada isi, kuantitas dikejar tapi kualitas dihajar. Semua orang berlomba mengejar target dan angka-angka, masalah substansi urusan nanti. Kapan? Nanti.
Budaya feodal dan senioritas di dunia pendidikan kita juga membuat diskursus dan perkembangan pemikiran menjadi kering kerontang, puluhan ribu publikasi ilmiah diterbitkan dalam setahun namun tidak ada manfaatnya bagi masyarakat luas. Namun, yang paling berbahaya dari hal-hal tersebut adalah pandangan-pandangan yang menormalisasi keadaan tersebut. Bahwa segala ketidakwajaran tersebut bukanlah hal yang aneh dan mendesak untuk dilakukan perubahan, minimal dari individu masing-masing.
Kontemplasi ini juga menjadi pengingat di tengah masih gaungnya nasib guru-guru honorer yang membebani APBN Pendidikan. Rasa-rasanya woro-woro “Indonesia Emas” andai pun kejadian suatu hari nanti hanya dimiliki dan dinisbahkan pada segelintir orang yang hari ini kebagian kue di atas piring emas.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang